Keluarga Super Hero



Pernah melihat berita orang hilang di televisi? Yup, semalang-malangnya keluarga yang ditinggal itu lebih beruntung daripada tetanggaku. Ia  kehilangan anaknya yang merantau tanpa ada kabar. Jangankan iklan di acara-acara TV, sekedar pamflet pun tak bisa karena kampung kami yang masih pelosok. Hingga beberapa tahun kemudian berita heboh itu hadir.
“Hardi sudah ketemu, dia sekarang pulang,” tetangga ramai sekali membicarakan.
“Apa iya?” tetangga yang lain menimpali.
Namanya Hardi. Dia merupakan anak bungsu dari sebuah keluarga besar dengan kehidupan yang sederhana. Ketika memutuskan untuk bekerja di ibu kota meninggalkan Magelang dalam status lajang ternyata saat pulang sudah membawa 1 istri dan 3 anak, otomatis berita ini langsung tersebar ke seantero kampung. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, apapun komentar baik dan buruk dari tetangga keluarga Pak Hardi tetap harmonis.
Mbak Sotimah istri Pak Hardi berjualan jajanan anak dan alat tulis di SD sekolahku sehingga aku cukup mengenalnya. Sementara itu sang suami kembali ke ibu kota untuk memenuhi nafkah keluarga, terutama anaknya yang mulai masuk bangku sekolah. Beberapa pembicaraan Mbak Sotimah dengan ibuku yang kuingat,
“Ah, nggak enak Mbak kalau kerja di pabrik. Ini sebelum menikah saya juga karyawan pabrik tapi sekarang lebih enak jualan aja Mbak. Setidaknya waktu untuk keluarga ada, kalau haruskerja di pabrik kan nanti waktu buat keluarga nggak ada,” kata Mbak Sotimah.
“Lha Pak Hardi di Jakarta kerja apa?” tanya ibuku.
“Dagang juga Mbak, keperluan anak-anak sekolah.”
Walaupun cukup luwes dalam bertetangga namun ada saja orang tidak suka. Bisa jadi karena Mbak Sotimah asli Blora dengan bicara dan budaya yang berbeda dengan daerah kami. Apalagi saat ia memutuskan untuk berkerudung, stigma negatif justru muncul. Dibilang sok alim, sok bener, itu sudah biasa. Sehingga saat aku SMP sempat terpikir lebih aman dari gunjingan orang itu saat kita tidak berkerudung.
Beberapa tahun kemudian lahirlah anak keempat. Oleh keluarga diberi nama Lutfiana Zakiah.
***
Hari itu riuh rendah suara siswa-siswi kelas 6 SD saat pengumuman kelulusan.  Begitupun anak Mbak Sotimah yang pertama yaitu Ipul turut merayakan kelulusannya. Kalau orang-orang di desa langsung menuju SMP di kecamatan untuk menyekolahkan anaknya namun kelurga Pak Hardi justru akan menyekolahkan Ipul di luar kota, Temanggung. Di sana merupakan boarding school otomatis Ipul akan jarang pulang ke rumah.
Setahun berselang Adam sang anak kedua juga melanjutkan di sekolah yang sama. Dia  yang paling suka berulah, bahkan ketika sudah mulai sekolah di Temanggung. Pada bulan-bulan awal saat sang kakak jatah libur pasti dia merengek untuk ikut pulang. Jadi dia akan pulang saat jatahnya pulang juga saat kakaknya pulang Magelang.
Hingga di tahun 2014 ini anak ketiga juga menyusul kedua kakaknya ke Temanggung. Tentu tidak mudah dengan pekerjaan hanya seorang pedagang kecil-kecilan dengan penghasilan tak pasti tiap harinya membiayai 3 anak boarding school. Tapi sungguh semangat untuk memberikan pendidikan yang terbaik untuk sang anak sangat menggelora. Ipul yang harus masuk SMA berbarengan dengan Riska sang adik masuk SMP tetap disanggupi sang ayah walau dengan resiko ia harus bekerja lebih giat lagi di tanah rantau.
“Lhoh Bu kok itu Pak Hardi sekarang di rumah,” tanyaku.
“Kata Mbak Sotimah sekarang suaminya mau bekerja di Magelang saja, pulang dari rantau.”
Aku yang saat ini sudah di bangku kuliah mulai memahami bagaimana ekonomi keluaga tetanggaku tersebut. Amazing kedua orangtua itu tetap maju melangkah menyekolahkan anak-anaknya. Oh iya, si bungsu Lutfi juga harus TK tahun ini. Dengan mata pencaharian apakah Pak Hardi akan memenuhi kebutuhan keluarga?
***
Anak-anak usia TK dan SD dikampungku semakin rajin ke masjid. Masjid yang biasanya terisi oleh orang-orang yang sudah sepuh sekarang tidak lagi. Ku lihat pada suatu hari Pak Hardi berjalan di belakang anak-anak kecil itu sepulang dari masjid.
“Oh, ternyata sekarang ayahnya Ipul ngajar ngaji ya Bu?” tanyaku.
“Iya Nduk, sekarang mulai ngurus umat selain sibuk dengan rutinitas mata pencahariannya.”
Sekali lagi aku salut, Pak Hardi hanya seorang pedagang kecil yang hidup serba kekurangan mampu menggebrak kampungku dengan membuka TPA di rumahnya. Ia tak segan-segan memborong buku-buku untuk muridnya. Ia pun memakai metode yang lebih modern dibandingkan cara ngajiku dengan guru ngaji beberapa tahun silam. Ide yang cerdik juga untuk mengajarkan pentingnya sholat berjamaah awal waktu di masjid, jam mengaji sekitar setengah jam sebelum waktu Ashar sehingga saat adzan berkumandang semua muridnya bak burung gagak yang berbondong-bondong mendatangi masjid. Pemandangan yang indah sekali melihat generasi Islam yang riang dan ringan mengunjungi rumah Rabbnya.
Suatu hari sms masuk,
“Tin, Hardi itu siapa?”
“Tetanggaku,” balasku pada sms saudara.
“Lha kok bisa ngajar ngaji dia kan beda harakah?”
Begitulah kurang lebih respon dari beberapa orang termasuk tetangga. Mereka yang sebagian besar masih awam dalam hal agama belum memahami indahnya perbedaan dalam Islam. Bahkan saudara yang sms tadi merupakan seorang santri pesantren yang rumahnya tidak di kampungku juga turut berkomentar.
 Pak Hardi dituntut harus bisa menempatkan diri menghadapi medan dakwah seperti ini, alhamdulillah ia dan keluarga menunjukkan sikap yang dan santun pada tetangga yang lain walaupun jelas-jelas ia sendirilah yang berbeda harakah dari orang sekampung. Bukankan ikatan akidah itu lebih tinggi daripada ikatan harakah?
***
Siang itu aku mendapat kabar bahwa Ipul yang melanjutkan SMA di Temanggung akan pindah ke Jakarta. Dia mengikuti program sebuah yayasan untuk beasiswa sekolah gratis untuk anak kurang mampu. Yah, kau akan jarang pulang ke Magelang. Semoga adikku bisa melanjutkan perjuangan dakwahmu di kampung, walau dengan cara yang sangat sederhana.
Riska yang masih duduk di bangku kelas VII sudah mengibarkan kerudung syar’inya membuatku malu. SMP aku masih anti kerudung, apalagi kerudung gede sungguh tidak pernah terlintas di pikiran untuk memakainya. Semoga menjadi jalan pembuka Mbak Sotimah juga untuk syari, sepertiku yang tak akan padam menyemangati ibuku yang telah memutuskan berhijrah dengan hijab.
Pak Hardi dan Mbak Sotimah sekarang berjuang bersama mencari nafkah dengan berjualan mainan anak ke sekolah-sekolah. Saat moment lebaran datang mereka juga menambah usaha berjualan makanan lebaran, kadang ke pasar untuk menjajakan balon.
Keluarga sederhana ini membuatku belajar bahwa keluarga adalah segala-galanya. Kita harus berjuang agar semua anggota keluarga maupun orang yang kita sayangi selamat dari api neraka.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [QS At Tahrim(66) : 6]
Kalaulah maut menjadi jurang pemisah kita dengan anggota keluarga yang lain, bukankah kita harus mempersiapkan reuni di surga kelak dengan amalan sekarang?



Magelang, 15 Februari 2015




*Artikel ini diikutsertakan pada kompetisi Blog Nurul Hayat :Nyala Inspirasi untuk Negeri (www.nurulhayat.org/partisipasi)


0 komentar:

Posting Komentar