Curhatan Ibu Dosen

Pada pertemuan pertama kuliah Akuntansi Menengah dengan ibu Ratieh kelas saya mendapat wejangan yang wuih, mantep be-ge-te. Beliau seorang ibu muda berusia sekitar 29 tahun.

Jadi udah dari sononya kalau dalam dunia wanita terdapat dua aliran, apakah menjadi wanita karier atau ibu rumah tangga. Yap, sebagai seorang cewek wanita kita sudah mempunyai planning akan rencana ke depan. Membangun karierkah? Atau mendedikasikan diri sepenuh jiwa dan raga untuk keluarga? Alhamdulillah di tengah pencarian jawaban akan hal tadi saya dipertemukan dengan moment yang pas sekali. Ibu Ratieh  menceritakan kehidupannya dan unek-uneknya sebagai naluri keibuan.

Sungguh merupakan rahasia publik saat wanita ingin menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya, tentu saja. Menjadi ibu terbaik bagi anak itulah cita-cita yang pasti tertanam di sanubari tiap wanita tak terkecuali kamu, iya kamu hahaha. Waktu bersama anak baik saat belajar, makan bareng, mengantar sekolah bisa jadi itulah hal yang membahagiakan seorang ibu. Sederhana memang. Tapi bagaimana dengan seorang wanita karir?

Bukannya karena tak sayang sehingga seorang ibu memilih berkarier. Mereka justru belajar dari waktu yang sangat terbatas dengan keluarga sehingga harus pintar-pintar memanfaatkan waktu. Kegiatan pekerjaan akhir pekan yang harus melibatkannya sungguh menjadi hal yang sangat menyebalkan. “Akhir pekan waktu keluarga” itu idealisme wanita karir yang menjadi rahasia umum.

“Sebenarnya ada rasa bersalah kepada anak saat saya harus bekerja pagi hingga sore, sedangkan dia saya titipkan di tempat penitipan anak,” begitu cerita seorang dosen.

Bahkan untuk menebus waktu yang telah terlewat tanpa kebersamaan itu sang dosen mengajak anaknya pergi ke Mall, “Dek mau pilih sepatu yang ini atau itu?”. Tanpa ba-bi-bu si anak langsung menunjuk sebuah sepatu yang dipilhnya. Tahukah kawan mana yang ia pilih? Yo nggak tau lah wong belum tak kasih bocoran, hehe.

“Yang ini Bu,” tunjuknya pada sepatu yang ia lepas dari kaki. Ia sejajarkan pada kedua sepatu baru yang ditunjuk sang ibu.

Darimana sang dosen nggak terharu? Sekelumit kejadian tadi menyadarkannya bahwa anak tak hanya membutukan materi. Yang anak harap dari kita adalah kebersamaan. Ibu dosen juga menceritakan  jika malam ia meyuruh anaknya belajar justru anak meminta bermain bersama.
“Lho adek kan seharian sudah belajar disekolah Bu.”

***
Saya jadi teringat kata Dian Sastro,

“Entah akan berkarier atau berumah tangga seorang wanita wajib berpendidikan tinggi karena ia akan menghasilkan ibu yang cedas. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.”

Yeah, jawaban untuk aneka stigma negatif yang mak-jleb banget Mba Dian. Aku setuju karo sampeyan. Bukankah sarjana juga manusia? Yang berhak menjadi ibu rumah tangga?

Di balik kejeniusan seorang Imam Syafi’i, ada ibu hebat yang selalu menyemangatinya menuntut ilmu. Juga kisah Musa sang Hafidz cilik yang berhasil menghafal 29 juz di usia 5,5 tahun. Kecermelangannya juga berkat didikan orang tua yang sangat gigih, termasuk ibu yang full time for family.

So, dalam tulisan ini saya memberi apresiasi kepada para ibu rumah tangga termasuk ibu saya. Yang tak bisa jauh dari anak, dari keluarga, karena begitu besar rasa sayangnya. Appaluse yang lebih pada wanita karier yang berani melepas jabatan demi kewajiban menjadi ibu yang baik, you are amazing.

Untuk kamu, kamu, dan kamu yang status ibunya masih otewe alias dalam masa pemantasan diri: yuk memilih secara cerdas, full time karier atau full time to family?
Pict from WA
   

2 komentar: