![]() |
Picture from sugengryd.wordpress.com |
Setelah dua bulan tidak bisa pulang kampung, alhamdulillah 21-22
November 2015 bisa pulang. Tak ada kawan lain dari Magelang yang pulang
sehingga harus pulang sendiri, OK fine.
Setelah naik angkot dari Unnes hingga Pasar Ungaran, saya menunggu
bis jurusan Jogja. Seperti biasa saya kuantitas bis Solo yang lewat membuat iri
para penumpang bis Jogja, Purwokerto, maupun Banjarnegara. Perbandingan bis
Solo dengan bis Jogja yang lewat mungkin 4:1 hehe.
Kurang lebih jam 11.00 saya mendapat bis arah Jogja, Ramayana
ekonomi. Untung masih ada tempat duduk yang kosong. Saya duduk di deretan
bangku tiga penumpang, di sebelah dua siswa saya perkirakan setelah melihat
style berpakaian.
Kebetulan dua teman bangku tidur sehingga saya tanpa teman ngobrol
di perjalanan. Baru setelah sampai terminal Bawen para penjual makanan,
minuman, buku, lem, pengamen, dan lain-lain masuk bis. Sebelah saya pun
terbangun dan membeli sebotol sprite dingin.
“Mau pulang ke rumah Dek?” tanya saya pada gadis yang tepat duduk
di samping saya.
“Bukan Mba. Saya mau ke pondok pesantren Bedono. Itu lho milik
Syekh Puji,” jawabnya.
Akhirnya kami berkenalan. Ternyata perkiraan saya meleset. Dia bukan
anak sekolahan tapi anak pesantren. Namanya Abid, berasal dari Demak, mondok di
pondok pesantren Syekh Puji Bedono Semarang, sudah hafidz 30 juz, sekarang lagi
pengabdian di pondok.
Ingat dengan sprite yang dibelinya saya pun nyeletuk,”Dek, bukannya
produk sprite itu termasuk digunakan untuk pendanaan Israel melawan Palestina?”
“Hah apa Mbak?” jawabnya terperangah.
“Setau saya sekarang saudara-saudara kita di Palestina sedang
dijajah oleh Israel. Nah, coca-cola itu salah satu penyuplai dana untuk Israel
Dek. Jadi, kalau kita membeli produk tersebut seolah kita turut memperbesar
dana Israel untuk menyerang Palestina,” saya menjawab sekenanya.
Saya memanfaatkan kesempatan untuk memberi info terkait kondisi global
Islam masa ini. Kebetulan juga saat saya menyinggung kasus Tolikara beberapa
waktu lalu dia menyatakan kalau tidak tahu kasus tersebut. Teringat dengan
kisah sahabat Papua tentang kehidupan muslim di sana, saya sengaja menceritakan
pula. Betapa beratnya saudara muslim di Papua menghadapi agama dan suku-suku
asli Papua.
“Di balik bertanya medan dakwah dai-dai Papua, alhamdulillah saya
sempat menyaksikan video sebuah suku Papua yang bareng-bareng masuk Islam. Mereka
mandi bersuci di sebuah sungai,” terang saya.
Terlihat adik ini sangat excited. Dia mengatakan kalau selama di
pesantren mungkin kurang tahu perkembangan info di luar.
“Wah enak ya Mbak kalau kuliah. Saya sebenarnya pengen kuliah biar
wawasan luas, tidak seperti sekarang hanya tahu seputar pesantren saja,”
katanya agak mengeluh.
“Pada dasarnya sebaik-baik orang adalah yang bermanfaat untuk orang
lain ya Dek. Dan Mbak melihat, kebermanfaatan yang besar bisa kita berikan
untuk masyarakat dengan berdakwah. Jadi apapun kondisi kita saat ini ya label
untuk berdakwah itu harus dijalankan. Taruhlah Adek sekarang di pondok
pesantren, nah setelah lulus dan kembali ke masyarakat berarti harus terjun
untuk mendakwahkan Islam ke masyarakat.”
Sebuah pertemuan singkat namun memberi pelajaran berarti bagi saya.
Setidaknya saya merasa Allah mengingatkan beberapa hal, antara lain:
1. Kita
harus update kondisi umat. Jangan sampai ada saudara di belahan bumi lain
sedang kesusahan menghadapi musuh sedang kita tak berbuat apa-apa. Kita bisa
membantu dengan menyebar info yang sebenarnya terjadi pada orang lain, jihad
harta, dan berdoa.
2. Mengoptimalkan
untuk memboikot produk yahudi.
3. Istikomah
di jalan dakwah, karena ummat menunggu kita. Sekecil apapun tindakan kita kalu
untuk kebaikan dan menyeru pada yang haq, lakukan. Bahkan mengirim sms untuk
datang ke kajian bisa bernilai agung karena bisa jadi jembatan hidayah
seseorang.
0 komentar:
Posting Komentar