Tepat hari ke-4 Ramadhan saya harus kembali berjibaku dengan
Training Jurnalistik di Solo. Berbeda dengan training sebelumnya, inilah
training pertama pada bulan Ramadhan. Saya diantar oleh Sekdep Medin Eksis Mbak
Putri sampai Pasar Ungaran. Terpaksa harus berangkat sendiri karena teman-teman
dari Semarang masing-masing berangkat dari Magelang dan Rembang.
Hari masih cukup gelap, jarum jam menunjuk ke angka 5. Di tengah
keremangan akhirnya berhasil memberhentikan bis jurusan Surabaya, alhamdulillah
tak membuang waktu lama untuk mendapat bis. Kalau biasanya di bis ngemil jajan
dari kos atau Pasar Ungaran sekarang libur dulu. Jam 7 kurang saya sudah turun
dari bis.
Tik tok tik tok, waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 namun angkot
menuju joglo tak lewat-lewat. Saya tidak berani naik becak kalau cuma sendiri. Di
luar perkiraan ada peserta training juga yang melihat saya sedang menunggu
angkot, kemudian saya dibonceng dengan motornya. Syukron Mbak Tias (tiazsstory.blogspot.com)
^_^
Perjalanan 2 jam terbayar lunas setelah acara dimulai. Panitia memberitahu
kami bahwa pemateri hari ini adalah hidayatullah.com. Siapa yang tidak kenal situs
hidayatullah.com? Situs media Islam tertua di Indonesia. Pada hari Ahad (21/6/2015)
Training Jurnalistik diisi oleh redaktur hidayatullah.com yaitu Cholis Akbar. Tak
melulu belajar teori, kami mendapat kisah-kisah pengalamannya selama menjadi
jurnalis. Kami juga langsung praktek membuat tulisan berita. Sungguh, spiritnya
sangat membakar.
![]() |
Pict by google |
Pada penghujung acara beliau menyampaikan tentang contoh kegigihan
jurnalis. Kisah nyata yang ada di Indonesia dan beliau mendapat kisah tersebut
langsung dari pelaku. Berikut yang saya rekam mengenai perjuangan Arif Zulkifli
seorang jurnalis Majalah Tempo saat memburu pemimpin GAM, Hasan Tiro.
Tahun 2000 ialah takut kemelutnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Bisa dibilang
semua mata menyorot pada keberadaan Hasan Tiro. Ia justru menghilang tak pernah
menampakkan hidung di khalayak umum. Dari sinilah semua berawal, Arif yang pada
saat itu masih wartawan biasa ditunjuk atasannya untuk memburu kabar Hasan
Tiro.
“Dimana saya menemukan Hasan Tiro?” begitu pertanyaan Arif yang
ditirukan Cholis Akbar.
“Aku juga tidak tahu. Untuk itulah kamu ditugaskan. Aku kasih kamu
uang untuk berangkat ke Swedia karena Hasan Tiro ada di negara itu. Cari dan
wawancarai.”
Akhirnya berangkatlah Arif menuju Swedia. Di sana ia bingung untuk
menemukan ketua GAM. Mencari seseorang di sebuah negara yang sama sekali tidak
diketahui jejaknya. Karena merasa kepepet ia mengambil jalan menanyai
semua orang berwajah Indonesia yang ditemui. Ia bertanya apakah mereka tahu
keberadaan Hasan Tiro.
Tidak sedikit orang yang ditanya namun tak membuahkan hasil. Waktu sudah
mendekati deadline, tetapi tak ada progress yang berarti. Ia pun menghubungi
atasannya di Indonesia. Oleh sang atasan atasan ia tidak diijinkan menyerah. Arif
mendapat tambahan uang untuk satu minggu dan harus menemukan keberadaan Hasan
Tiro.
Kembali ia menanyai satu per satu orang yang ditemuinya. Secara tak
terduga, ia bertemu dengan salah seorang yang mengetahui dimana persembunyian
Hasan Tiro. Ia diantar ke tempat persembunyian Hasan Tiro.
Arif pun bertemu dengan pimpinan GAM yang dicari banyak orang itu. Setelah
memberitahu maksud kedatangannya, Hasan Tiro mengiyakan untuk di wawancarai
dengan beberapa syarat. Yang pertama ia tidak mau direkam. Padahal rekaman
merupakan salah satu senjata seorang jurnalis. Karena tanggung sudah bertemu
narasumber ia pun menyetujui untuk tidak merekam wawancara.
Syarat kedua, Hasan Tiro tidak mau diwawancari dengan bahasa
Indonesia. Mungin karena terlalu bencinya dengan Indonesia hingga hanya
bersedia diwawancarai dengan bahasa Inggris atau Aceh. Arif mengambil keputusan
untuk wawancara dengan bahasa Inggris.
Dengan tanpa merekam, apa trik yang praktekkan saat wawancara? Tiap
30-50 menit sekali ia ijin ke kamar mandi. Disana ia ambil sebuah note dan
pensil yang disembunyikan di balik baju untuk mencatat pemicaraan selama 30-50
menit tersebut. Bagaimanapun memori manusia memiliki keterbatasan. Ia sengaja ijin
dalam jangka waktu tersebut agar tidak
dicurigai.
![]() |
Pict by google |
Wawancara 2 jam Arif denagn Hasan Tiro menghasilkan sebuah feature
fenomenal. Tulisannya pantas diacungi jempol. Dan untuk saya sendiri walaupun
tahu ini adalah media k*f*r namun ada beberapa pelajaran yang bisa diambil,
seperti:
1.
Gigihnya
semangat jurnalis dengan berbagai tantangan berat.
2. Pihak
media yang berani memberi modal kepada jurnalisnya untuk memburu berita.
Nah, kawan-kawan pasti lelah ya bacanya. Istirahat sejenak,
kemudian lanjutkan dengan membaca tulisan Arif Zulkifli yang sekarang telah
menjadi senior di majalah Tempo. Cekidot.
Dua Jam Bersama Hasan Tiro
LELAKI itu merapatkan mantelnya. Ia berdiri di pintu balkon
menghadap ke luar apartemen. Angin dingin musim semi berembus. Lima belas
derajat Celsius. Kering, menusuk seperti jarum. Di luar, laut Mclaren yang
menggenangi Kota Stockholm berpendar-pendar. Di atasnya, sebuah bukit warna
cokelat menyembul dari permukaan air. Udara cerah. Awan meriaki biru
langit.
"Lihat pemandangan itu," katanya. "Mirip sekali
dengan Aceh." Lelaki itu, Hasan Muhammad di Tiro, 75 tahun, kembali
merapatkan mantelnya. Rambutnya yang putih tersisir ke samping. Rautnya keras
dan giginya kusam termakan usia. Sesekali ia tersenyum. Bagi sebagian besar
orang Aceh, Hasan Tiro adalah legenda. Ia jarang muncul ke depan publik.
Wawancara dengan pers dilakukan terbatas hanya kepada wartawan asing. Pernah ia
melakukan wawancara kepada media Indonesia, tapi itu hanya dilakukannya melalui
telepon internasional.
Tiro memang sosok yang jarang tampil ke muka publik. Dalam
perundingan putaran terakhir antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Indonesia
dan Henry Dunant Centre di Jenewa, Swiss, 12 Mei lalu, ia memang sempat muncul.
"Kami sempat bercanda," kata Duta Besar/Perwakilan Tetap Indonesia di
PBB, Hassan Wirajuda, yang mewakili Indonesia dalam pertemuan itu. Tapi setelah
itu ia raib. Pers yang memburunya tak menemukan jejaknya. Menurut seorang
stafnya, dari Jenewa ia langsung terbang ke Zurich bersama Menteri Negara GAM
Malik Mahmud. Sebagai presiden National Liberation Front of Acheh Sumatra
(NLFAS), organisasi yang lebih dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, tak aneh
jika Hasan Tiro banyak bersembunyi.
Selama bertahun-tahun, terutama setelah mendeklarasikan berdirinya
Negara Aceh Merdeka pada 4 Desember 1976, ia adalah incaran nomor satu aparat
keamanan Indonesia dengan tuduhan sebagai pemimpin pemberontakan Aceh.
Keluar-masuk hutan selama tiga tahun (1976- 1979), pada 29 Maret 1979 Tiro
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan tempat persembunyiannya di Aceh dan
berlayar ke luar negeri. Ia sempat ke Amerika dan beberapa negara lain sebelum akhirnya
menetap di Stockholm, Swedia.
TEMPO diterima staf GAM dan Hasan Tiro dengan tangan terbuka. Di
sebuah apartemen pinggiran kota itulah kami bertemu, Sabtu dua pekan lalu.
Apartemen itu tidak terlalu luas, sekitar 100 meter persegi. Di ruang tengah
apartemen itu terletak seperangkat sofa warna kuning yang berhadapan dengan
meja kerja Tiro yang besar. Di atas meja kerja itulah Tiro menumpuk map,
kertas, dan sebuah vandel bendera Aceh Merdeka serta sebuah miniatur bola
dunia.
Di samping meja itu terdapat meja kecil yang dipenuhi foto
koleksinya. Foto Hasan Tiro bersama pasukan GAM, foto ketika ia berada di
Amerika, foto istri dan anaknya, Karim di Tiro, serta foto seorang jabang bayi yang masih merah. "Itu anaknya
Karim. Cucu saya," katanya. Agak ke samping terdapat sebuah meja kerja
lagi. Sebuah dinding yang dipenuhi oleh kliping media yang memuat berbagai
pemberitaan tentang Aceh dan GAM serta foto Hasan Tiro dalam berbagai
kesempatan pertemuan internasional.
Siang itu Hasan Tiro tampil bersahaja. Ia mengenakan setelan warna
biru. Tubuhnya yang tak besar, sekitar 160 sentimeter, dibalut mantel warna
biru tua. Dibandingkan dengan fotonya pada tahun 1980-an yang banyak beredar,
ia kelihatan lebih kurus. Tapi wajahnya cerah dan matanya berbinar. Suaranya
masih jernih meski kadang tersendat. Yang menarik, ia menggunakan bahasa
Inggris. Menurut kalangan dekatnya, Tiro memang enggan berbahasa Indonesia
meski ia mampu. Kebenciannya pada Indonesia menyebabkan ia lebih suka memakai
bahasa Aceh atau bahasa asing lainnya dalam berkomunikasi.
TEMPO, yang berulang kali meminta agar obrolan kami itu direkam dan
dijadikan bahan wawancara, ditolaknya dengan halus. Begitu juga ketika TEMPO
ingin memotretnya. "Bukan sekarang saatnya," katanya. "Anda
sudah baca buku ini?" tanya Tiro tiba-tiba. Tangannya menggenggam sebuah
buku seukuran diktat kuliah bersampul kuning, The Drama of Achehnese History
1873-1978.
Itu adalah naskah teater tentang Perang Aceh yang ditulis Tiro pada
1978. Naskah 56 halaman itu memadukan dua pengetahuan Tiro sekaligus: sejarah
Aceh dan musik klasik. Tiro memakai komposisi Purcell, Johann Sebastian Bach,
Beethoven, dan beberapa komposer Barat lainnya untuk membuka dan menutup
adegan. Tiga halaman pengantar drama itu ditulis oleh Husaini Hasan, Menteri
Pendidikan Aceh Merdeka—tokoh yang belakangan meninggalkan Hasan Tiro dan
mendirikan Majelis Pemerintahan GAM. "Coba Anda baca bagian ini
keras-keras," demikian Tiro meminta.
Dalam kata pengantarnya Husaini Hasan menceritakan suka duka Hasan
Tiro menulis naskah itu ketika bergerilya di hutan-hutan Mampr�e di Gunung Patisah Pidie, Aceh, akhir tahun 1970-an. "Tengku
(Hasan Tiro) menulis dari pukul 7 pagi hingga 6 petang. Kami tak punya lampu
jika malam. Itu semua dilakukannya sewaktu kami semua berhari-hari menunggu
suplai makanan dari kampung," tulis Husaini. Tiba-tiba, Tiro beranjak ke
pojok ruangan. Ia menyetel kaset Johann Sebastian Bach. Toccata & Fugue dan
Air in G. String sayup-sayup segera merambati ruangan. Sunyi. Tak ada suara selain
gesekan biola dan naskah drama yang dibaca TEMPO pelan-pelan.
Sekali lagi lelaki itu termenung. Tubuhnya disorongkannya ke depan.
Wajahnya serius. Matanya seperti menembus dinding apartemen. "Drama"
satu babak itu berakhir. Tiro kembali berdiri. Hasan Tiro lelaki yang romantis.
Ia menikmati kesendiriannya. Anak dan istrinya tinggal di Amerika. Karim di
Tiro, 31 tahun, adalah doktor di sebuah universitas di Negeri Paman Sam itu.
Wajah Karim tampan, badannya gagah. Maklum, ibunya perempuan Amerika. Hasan
Tiro sangat bangga pada anaknya. Tiro kembali mengeluarkan sebuah buku. Sebuah
jurnal ilmiah yang memuat tulisan Karim.
Pada halaman pertama buku itu, Karim menorehkan tanda tangan di
bawah sebuah kalimat pendek, "For Papa". Ketika menunjukkan buku itu,
mata Tiro berbinar. "Anda dulu sekolah dimana?" tanyanya tiba-tiba. Ketika mendengar jawaban
Universitas Indonesia, lelaki itu tiba-tiba menyemprot, "That's
stupid". Tak jelas apa yang diejek oleh Tiro. Tapi rasanya kata
"Indonesia" memang selalu membuatnya gusar. Di mata Tiro, Indonesia
adalah sebuah gagasan yang absurd.
Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada November 1980, The Legal
Status of Acheh Sumatra under International Law, Tiro menyebut penyerahan
kedaulatan Aceh dari Belanda kepada Indonesia pada 1949 sebagai sesuatu yang
ilegal. Basis hukum yang dipakainya adalah Resolusi PBB yang mewajibkan negara
kolonialis menyerahkan daerah jajahannya kepada penduduk asli. Indonesia,
menurut Tiro, bukanlah penduduk asli Aceh. "Penyerahan kedaulatan itu
dilakukan tanpa pemilihan umum yang menyertakan seluruh masyarakat, termasuk
masyarakat Aceh," katanya dalam wawancara dengan televisi Hilversum
Belanda pada 1996.
Dengan kata lain, di mata Tiro, Indonesia adalah negara yang
dipaksakan keberadaannya oleh Sukarno. Daerah seperti Aceh, Padang, Maluku,
Kalimantan, yang sesungguhnya punya hak untuk menjadi kawasan yang berdaulat,
dibelenggu dalam satu ikatan "Indonesia" oleh presiden pertama
Indonesia itu. Sukarno memang terobsesi oleh gagasan negara kesatuan. Wilayah
Indonesia, menurut Sukarno—lalu didukung Muhammad Yamin—adalah wilayah bekas
jajahan Belanda yang wujudnya adalah Indonesia seperti yang kita lihat
sekarang. Tapi Tiro membantah konsep "Indonesia" itu.
Menurut dia, perjuangan kemerdekaan melawan Belanda dari setiap
daerah adalah upaya setiap anak bangsa untuk membebaskan kawasannya sendiri dan
bukan untuk "Indonesia". Gagasan Indonesia barulah muncul belakangan.
Itulah sebabnya penyerahan kedaulatan 1949 ditandai Tiro sebagai beralihnya penjajahan
Belanda menjadi penjajahan Indonesia/Jawa di Aceh. Dibandingkan dengan era
1950, pada tahun 1980-an ada pengerasan sikap pada diri Tiro.
Dalam buku Demokrasi untuk Indonesia yang ditulisnya di Amerika
pada 1958 (buku ini dicetak ulang dua kali di Jakarta pada 1999 lalu), yang
menjadi pusat kritiknya adalah gagasan negara persatuan Sukarno. Menurut Tiro,
dengan wilayah yang luas sangat tidak mungkin jika Indonesia dipaksakan menjadi
negara persatuan. Dalam buku itu Tiro mengusulkan federalisme sebagai pilihan
yang terbaik untuk demokrasi Indonesia. Artinya, pada era ini Tiro masih
memberi alternatif bagi penyelesaian hubungan pusat-daerah. Tapi akumulasi
nasib buruk yang menimpa rakyat Aceh selama bertahun-tahun membuat seorang
Hasan Tiro tidak memiliki pilihan lain kecuali memerdekakan Aceh.
Bantuan Aceh untuk Republik pada masa-masa awal perang kemerdekaan
dijawab pemerintahan Sukarno dan Soeharto dengan menjadikan Aceh, sebagaimana
kawasan lain, sebagai prioritas nomor dua secara politik dan ekonomi. Karena
ketidakpercayaan terhadap pemerintahan Jakarta selama bertahun-tahun itu
pulalah ide otonomi daerah yang ditawarkan Abdurrahman Wahid tidak pernah
ditanggapi Tiro dan kelompoknya. "Saya ingin memperdengarkan satu kaset
pada Anda," kata Hasan Tiro tiba-tiba. Ia mengambil sebuah kaset bersampul
putih dan sebuah tape recorder.
Kaset itu berisi pidato Tiro di muka pasukan GAM di Tripoli, Libya,
pada 1985. Sebuah pidato yang membakar semangat pasukan yang disampaikannya
dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Beberapa kali TEMPO berusaha
menanyakan konteks peristiwa pidato itu, tapi ia cuma menjawab pendek, "Just listen." Tiro memang sering
tak ingin menjawab. Beberapa pertanyaan tentang ide Aceh merdeka dijawabnya
pendek sebelum akhirnya ia beralih ke topik lain. Beberapa kali ia bahkan cuma
menyahut, "Baca saja buku ini," sambil menunjuk beberapa buku yang
pernah ia tulis.
Pada masa mudanya Tiro memang banyak menulis. Selain Drama dan
Legal Status of Acheh Sumatra, ia juga pernah menulis The Prince of Freedom:
The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro. Buku 226 halaman ini merupakan
catatan hariannya ketika ia berperang di hutan Aceh pada 1976-1979. Di buku
itulah ia menggambarkan kepulangannya kembali ke Aceh pada 1976—setelah 25
tahun tinggal di Amerika—seperti kedatangan Napoleon yang mendarat di Teluk
Juan dari Pulau Elba atau Julius Caesar yang melintasi Rubicon.
Pada 30 Oktober 1976 itu ia melukiskan dirinya dengan mengutip
sebuah karya Nietzche, Thus Spoke Zarathustra: Di tempat pendaratannya, di
Kualatari datang menjemput pasukan Tiro di bawah pimpinan Daud Paneuk, tokoh
yang kini juga tinggal di Swedia dan belakangan meninggalkan Tiro dengan
membentuk MP GAM. "Sungguh tidak mudah meninggalkan kehidupan saya di
Riverdale New York dan memilih tinggal di hutan yang pekat sebagai pemimpin
gerilya," tulis Tiro. Ia kini memang tidak tinggal di Aceh. Ia memimpin
pasukan gerilyanya dari jauh. Sebuah negara di kawasan Skandinavia, hampir
8.000 mil dari tanah kelahirannya.
Ide Aceh Sumatra merdeka yang diambilnya dari daerah kekuasaan
Kesultanan Iskandar Muda dulu masih dipercaya pendukungnya sebagai perekat bagi
persatuan bangsa Aceh dan Sumatra. Kepemimpinannya di kalangan GAM dipatuhi,
meskipun sebagian orang menggugat Hasan Tiro karena kepemimpinannya di GAM
tidak lepas dari unsur mengalirnya darah Tiro dalam dirinya. Untuk waktu yang
lama GAM memang belum bisa lepas dari pola suksesi ala kesultanan ini.
Hari menjelang sore. Jam dinding di rumah Tiro menunjukkan pukul
empat sore. Tapi pada musim semi yang memanjangkan siang, petang itu matahari
masih terik. TEMPO mohon diri dan Tiro mengantar sampai ke luar. Di muka pintu
ia mengepalkan tangannya dan berteriak dengan suara bergetar,
"Sumatra!" Dari balik pintu lift yang perlahan tertutup, masih tampak
lelaki itu merapatkan mantelnya, sekali lagi.*
29 MEI 2000, Arif Zulkifli
(Stockholm, Swedia) Majalah Tempo.
0 komentar:
Posting Komentar