Bismillah...
Kayaknya harus membersihkan jaring laba-laba yang menyeruak di blog ini xD. Setelah merasa sok sibuk maka saya mantapkan sejak minggu lalu untuk istiqomah nulis di blog lagi. Tidak mudah memang, tapi kata Mba Rindu Ade menulis memang bukan pekerjaan orang malas. So, perlu mengurangi interaksi gadget ke laptop, khalwat sama laptop yuk.
Yap, tepat tanggal 2 Sya'ban. Siapa yang belum melunasi hutang puasa hayo?
Belum menginjak Ramadhan saja diri ini sudah merindukan suasana Idul Fitri di kampung halaman. Kenapa? Simak nih salah satu tulisan beberapa bulan yang lalu. Tulisan ini saya ikutkan dalam ajang lomba cerpen di UI. Alhamdulillah masuk 3 besar.
Hari Suci di Kampung Kami
Oleh : Titin Fitriyani
Kalau
saja bukan hari istimewa, tak akan kamar mandi antri sepanjang ini. Di dalam
kamar mandi nenek sedang mandi. Kakek sudah membooking. Baru setelah itu aku,
adik, ibu, dan ayah yang mendapat giliran.
“Allahu akbar allahu
akbar. Laa ila ha illalahhu Allahhu akbar. Allahu akbar wa lillahilham”
Ku
dengar kumandang takbir dari masjid kampung. Rasa haru campur bahagia. Harus
berpisah dengan kesyahduan bulan Ramadhan tentu amat berat untuk seorang awam
sepertiku yang belum tentu di mata Allah menjadi pemenang di bulan Ramadhan. Ya
Rabb, setidaknya aku berharap menjadi grand finalis yang tidak terbuai dengan
mejeng di mall memburu pakaian-pakaian lebaran.
Tak
cukup waktu lama untuk persiapan ke masjid, ayah dan adik yang terlihat gagah
dengan baju koko sementara aku dan ibu juga sudah siap berangkat ke masjid.
Di sana bertemu dengan tetangga-tetangga
yang setahun ini tak ku temui batang hidungnya karena merantau. Magelang akan
selalu terkenang, begitu ku tangkap rona-rona kebahagiaan yang terpancar dari
wajah mereka.
“Tin,
nanti ujung keliling kampungnya bareng ya,” Vani yang shaf sholatnya di
sampingku berbisik.
“Sip,
mau darimana? Barat apa timur?”
“Dari
timur aja, OK?”
Ku
angkat dua jempolku pertanda menyetujui permintaannya. Lucu memang, sepertinya
tiap tahun pertanyaan dan jawaban untuk keliling kampung selalu seperti itu
antara aku dan Vani. Dia tetangga depan rumahku yang pindahan dari kota dan
menjadi kawan akrab semenjak kami SD.
Hari
pertama hari raya selalu disibukkan dengan berkeliling kampung, menyapa dan
bermaaf-maafan dengan para tetangga yang ku tahu di meja mereka selalu penuh
dengan jajanan penggoda selera, rasa-mbayar
men! Tubuhku yang segemuk lidi ini selalu menjadi ejekan karena akulah
satu-satunya tamu yang selalu ringan tangan mengambil makanan di setiap rumah,
hitung-hitung menyenangkan tuan rumah.*ih modus.
Hampir
saja hal ini terlupa, angpau. Iya, angpau. Anak-anak kecil selalu excited
menunggu amplop yang akan mereka dapat. Setidaknya di kampung kami sudah dapat
dipetakan mana saja rumah yang akan berbaik hati pada anak-anak kecil itu. Oh
adik-adik yang manis, jangan sampai menganggap Idul Fitri hanya sekedar
bagi-bagi amplop yak.
Semakin
hari aku terus menjelajah bumi hijau Magelang. Menyapa gemericik air irigasi
persawahan yang setia mengalir, menggembirakan hati penjual bensin eceran,
membantu pedagang bakso menghabiskan dagangan, dan sedikit usil dengan misi
sekedar mengotori piring para tuan rumah yang selalu menteror kami agar makan di rumah mereka.
“Kalau
sudah bertamu tidak makan, ora ilok,”
begitu kata mereka.
OK,
ku nyatakan “menyerah” pada kamera. Kamu tahu kan kawan orang Jawa pasti punya
senjata jitu dengan mengatakan ora ilok.
Acara
halal bihalal sesama keluarga besar juga tak luput dari agenda. Bani Sadrono
alias keluarga besar Mbah Sadrono selalu mengadakan pertemuan untuk mengeratkan
rajutan silaturahim. Mulai dari yang domisili Magelang, Semarang, maupun
Jakarta akan menyempatkan waktu sehari ini. Betapa indahnya kebersamaan,
indahnya berbagi.
Bukan siapa yang paling
kaya, tapi eratnya silaturahim itu merupakan hal yang paling mahal yang tak mampu
terbeli dengan intan permata.
“Tumben
rajin banget, udah nongkrong di dapur,” kata adikku, Aji.
“Huh,
syirik. Awas ntar nggak ku kasih pudding ini ya.”
“Yee
biarin. Bisa buat sendiri, wekkk.”
Hari
ini pangeran berkuda putih itu akan datang. Setidaknya untuk pencitraan di
depan calon mertua, mungkin. Dengan muka diramah-ramahkan, kemeja yang
disetrika terburu-buru, ah, kelihatan sekali hanya untuk mencari muka. Kemudian
duduk berdua di ruang tamu menikmati pudding itu sambil mengobrol malu-malu
karena tak enak dengan orang tua yang juga menjadi tuan rumah.
Basi, moment indahnya Idul Fitri
hanya dibuat ajang maksiat. Kapan ente pada tobat? Hah!
Alhamdulillah,
bukan kejadian itu yang terjadi di Idul Fitriku. Tanpa absen aku bersama
keempat sahabat SMP selalu reuni kecil di hari raya pada hari ketiga atau
keempat. Aku yang sekarang sibuk kuliah di Semarang, Nung sang calon psikolog,
Sindu yang lagi getol belajar bahasa Korea, juga Ifah yang sebentar lagi
meninggalkan Indonesia selalu berharap semoga agenda ini bisa rutin tiap tahun.
“Si
Titin yang dulu paling getol ngidolain kakak kelas di SMP sekarang nggak mau
pacaran, kita bully aja yuk. Jolet jolet, jomblo kebelet.”
“Haha,
biarin. Daripada 10 tahun pacaran eh ternyata bukan jodoh kita. Nyeseknya
dimana pemirsa?”
Yup,
kami adalah penganut aliran Jomblo Kece Dunia Akhirat. Dan kalaupun salah satu
dari kami telah wisuda, piala bergilir telah kami siapkan untuk diberikan
kepada siapa saja yang menikah duluan diantara kami, hehe. Ahmad Fuadi dengan
sahibul menaranya, kami pun tak kalah dengan KMK (Konferensi Meja Kotaks) telah
berkoferensi saat kelas IX SMP dengan ambisi-ambisi besar. Menjejakkan kaki di
latar masing-masing novel yang kami idolakan.
Semarang,
9 Desember 2014
itu adik anti namanya Aji.? hemmm... :D
BalasHapusIya, sama nama ya.
BalasHapus