Jadilah air agar saling menentramkan, bukan menjadi minyak tanah yang akan membakar – Ustadz Oemar Mita
4 November 2016, menjadi saksi putihnya jalanan Jakarta area Masjid
Istiqlal-Istana Merdeka oleh jutaan umat Islam. Menurut rilis resmi GNPF MUI
(Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia) menyentuh angka 2
juta orang lebih, Masya Allah.
![]() |
Foto seorang peserta aksi memberi odol kepada polisi agar tidak perih saat terkena gas air mata. Sumber: kompasiana |
Berbagai kejadian tentu mewarnai aksi damai ini
baik sebelum, saat berlangsung, maupun sesudah. Tepat Kamis Malam, rekan dari
Solo berangkat bersama rombongan DSKS Surakarta. Melalui aplikasi editor video
handphone, salah satu teman mengedit video keberangkatan. Just one word,
speechless. Mata berkaca-kaca saat melihat video itu, juga effort untuk
mengedit video saat sedang dalam perjalanan.
“Teruslah semangat wahai singa-singa Allah”,
kalimat tersebut membuat cambukan untuk hati yang tengah mencuri waktu untuk
lengah ini.
Lalu, Jumat datang bersamaan dengan striping
kuliah. Di sela-sela waktu, saya menyempatkan membuka beberapa portal media
Islam yang in syaa Allah amanah dalam pemberitaan. Kiblat yang tetap bisa
update di tengah kondisi yang tidak biasa tentunya, hidayatullah dengan
headline foto, muslimdaily dengan live video, dan masih banyak lagi.
Yang menarik, ketika salah satu stasiun televisi
swasta yang acapkali selalu memframing buruk Islam, diusir mentah-mentah
peserta aksi saat mereka hendak meliput. Semoga pembaca maksud stasiun televisi
mana ya.
Malamnya, saya mencoba melihat televisi. Dari
awal saya lebih memilih stasiun TVRI daripada TV-TV yang hobinya memberitakan
taman rusak.
Hingga aksi berakhir, saya beruntung menemukan
tulisan berikut dari teman-teman JITU (Jurnalis Islam Bersatu). Dan Ustadz
Pizzaro pun ikut meliput, yang sebelumnya saya tahu sedang di Jawa Timur. Bentuk
tulisan feature, dari judul sudah terlihat kualitasnya. Dan yang terpenting,
tulisan yang ditulis untuk mendapat ridha Allah, akan sampai ke hati.
![]() |
Sumber: www.jitu.or.id |
Dor! Pak Polisi, Jangan Tembaki Ulama Kami
“D-O-R”
Suara tembakan menggelegar di atas
langit Ibu Kota, tepat di Depan Istana. Mobil Barracuda itu menyemburkan cahaya
yang bercabang ke atas langit dan kembali bercabang menukik mengkilat keemasan.
“Blush..” asap menyebar melayang-layang menyergap hidung dan mata.
“Dor..”
“dug..” Dor..” susulan tembakkan terdengar super keras berdebam.
Takbir menggema di segala penjuru di hamparan Jalan Merdeka Barat selemparan
batu dari Istana Negara kita. Polisi memegang pentungan dan perisai mulai
merangsek maju.
Lampu – lampu mobil baja itu
berkelap-kelip. Gemuruh riuh di sana-sini. “Brrrmmmm…” mobil Water
Cannon itu mulai menderung menyemburkan ribuan kubik air tak
henti-hentinya.
Takbir bercampur haru di tengah
hampir satu juta massa Aksi Bela Islam atau Aksi Bela Al-Quran Jumat malam
(04/11/2016) tepat pukul 19.30 WIB.
Inilah sedikit kericuhan aksi damai
Aksi Bela Islam Jumat sore, 04 Nopember 2016 atau populer disingkat 411.
Berdasarkan laporan pandangan mata di lapangan, aksi kericuhan diperkirakan
dipicu banyak hal. Diantaranya bermula karena ketidak-pastian Presiden Joko
Widodo menemui massa umat Islam yang menuntut penegakkan hukum atas dugaan
penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Sebelumnya, Bahtiar Nasir,
Jurubicara Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI)
mengabarkan mereka hasil pertemuan dengan Wakil Presiden RI M Jusuf Kalla bahwa
sudah ada komitmen pemerintah memproses Basuki Tjahaja Purnama dalam waktu dua
minggu.
Tenggat waktu yang dinilai lama ini
rupanya ikut memicu kemarahan massa yang datang hampir dari seluruh propinsi di
Indonesia.
“Kenapa Pak Presiden tidak mau
menemui kami yang jumlahnya hampir satu juta orang? Sementara GIDI pelaku
pembakaran Masjid di Tolikara justru diundang ke Istana?’ ujar seorang pria
berbaju putih berjenggot tipis.
Kericuhan lain diduga dipicu
kepanikan perwakilan Himpunan Mahasiswa Muslim (HMI) MPO di posisi
depan dengan teriakan dan lemparan-lemparan benda. Kala itu, posisi HMI
terjepit di depan massa.
Massa mulai panik ketika dimulai
tembakan gas air mata di tengah massa.
“Jangan tembak kami, jangan tembak
kami,” kata massa dengan tenang. Namun, suara-suara minor itu terkalahkan
dengan suara menggelegar yang memenuhi awan. “dor..dor..dor..”
Berpuluh-puluh gelegar menggantung di atas langit Jakarta.
Korban gas air mata banyak terjadi
di pihak massa Aksi Bela Al-Quran.
Air mata menggeliat tak terasa dari
sudut mata. “Ya Rabb…itu kiai dan habib kami ditembaki,” ujar seorang peserta
massa melihat mengapa polisi menembaki kea rah mobil yang ditempati para tokoh
Islam, kiai dan habaib. Termauk diantaranya ada KH Bachtiar Nasir, Arifin
Ilham, Habib Rizieq Shihab dan beberapa lainnya.
Di atas mimbar, Habib Rizieq masih
tak bergeming dan tetap menenangkan massa.
“Apa salah para ulama kami ya
Allah,” lirih massa lainnya. Sementara massa terus menutup hidung dan mengucek
mata. Hawa yang memekakkan mata membuat air mata terus berderai. Sebagian lari
mencari tempat aman.
Para jurnalis terhenyak, menutup
telinga, suara tembakkan yang berseru tak berhenti sekejappun. Semua menepi,
mulai mengoleskan secuil odol di kantung-kantung mata dan apasaja yang bisa
menjadi pengaman tubuh. Sebagian membasahi wajahnya dengan air. Gas air mata
sudah mengambang di pelataran Medan Merdeka.
“Allahu Akbar… Allahu Akbar, “teriak
para wartawan yang ketakutan.
Sementara itu, di atas pick up,
para ulama terus berseru takbir, beristigfar bahkan sempat menyeru melafalkan Kalimat
Tauhid. “Lailahailallah..lailahailallha..lailahailallah..” ujar
suara Habib Rizieq. Sementara tembakan gas air mata tak berhenti dan beberapa
peserta aksi ada yang tumbang.
Nampaknya, seruan jangan tembak
menguap dan sirna di udara malam yang semakin memanas. Satu per satu peserta
aksi tumbang, mual, hingga batuk-batuk dan muntah. Nyala keemasan menyala di
atas langit, membentuk kabut merah.
Gemuruh semakin hebat. Massa hanya
bisa pasrah ditembaki hingga para kiai dan tokoh-tokoh Islam yang berdiri
di mobil komando Aksi Bela Islam. Kalimat takbir, tahlil, tahmid masih
terus terlafal. Habib Rizieq bahkan masih berkali-kali menenangkan massa sambal
berlafal kalimat tauhid lirih.
Tiba-tiba suara ketukan mikrophone
menggelegar. “Saya Panglima TNI, semua dengarkan saya, komando ada di
saya,” ujar Jenderal TNI Gatot berusaha menenangkan suasana di tengah tembakkan
yang terus terjadi. “Ini ada Kapolri ingin bicara, coba dengarkan,” kata
Panglima TNI menyerahkan mikrophone ke Kapolri.
“Saya Tito Karnavian, Kapolri
kalian, kepada setiap anggota kepolisian tolong hentikan tembakan,” kata
Jenderal Tito yang datang memerintahkan kepada anggotanya untuk tak menembak.
Bukannya mereda, suara tembakan justru semakin banyak.
“Tolong dengarkan saya sebagai
Kapolri, hentikan tembakkan sekarang juga,” kata Tito kembali mengulang.
Namun, imbauannya tak digubris,
suara tembakkan masih terus menggelegar. Polisi masih terus menembaki
demonstran.
Jam 20.30 WIB suasana makin tak
terkendali, massa sebagian mundur dan banyak terluka, terutama kena pengaruh
gas air mata.
Pukul 21.00 malam massa umat
Islam menarik diri beristirahat di Masjid Istiqlal, sebagian terus melaku
menuju Kantor DPR-MPR Jalan Gatot Subroto – Jakarta untuk menginap dan
beristirahat. Sementara itu, suasana sekitar Istana Negara mulai sepi.
Pukul 12.00 malam, Presiden Joko
Widodo memberi pernyataan langsung di depan TV dan mengucapkan terima kasih
pada pada kiai, habaib dan ustad atas aksi damai yang berjalan tertib juga
aparat yang mampu mengawal aksi damai. Namun ia menyayangkan ada aksi di luar
massa Aksi Bela Islam usai shalat Isya’ yang menurutnya ditunggangi aktor
politik.*/Laporan pandangan mata wartawan JITU, Rizki L, M Pizzaro
dan Daus
Sumber: hidayatullah.com
0 komentar:
Posting Komentar